Filsuf Yunani Kuno
SOCRATES, PLATO
DAN ARISTOTELES: SEBUAH POKOK PEMIKIRAN FILSUF YUNANI KLASIK
TUGAS PENGANTAR
FILSAFAT DAN PEMIKIRAN MODERN
ALIF RAIHAN RAMADHAN
|
1506719032
|
ISTA INDAH SARIFAH
|
1506753783
|
MUHAMMAD NAUFAL
|
1506681033
|
NIKITHA TIARA SHAMIRA
|
1506682692
|
SETO ANANG MA’RUF
|
1506680195
|
YELINDA
|
1505582231
|
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
DEPOK
MARET 2017
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Filsafat adalah
pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar
mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu
sikap seseorang yang sadar dan berfikir dewasa dalam segala sesuatu secara
mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.
Pekembangan filsafat dimulai dari jaman filsafat kuno sampai dengan filsafat
moderen. Berbagai pemikiran-pemikiran baru bermunculan dan bersama-sama mencari
kebenaran untuk mencapai suatu kebenaran yang sejati.
Dengan adanya filsafat lahirlah
tokoh-tokoh yang membuat perubahan dengan berbagai pemikiran-pemikirannya.
Pemikiran-pemikiran itu menjadikan orang menggunakan akalnya untuk berfikir
lebih dalam dan menggali ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat hingga kini.
Berbagai penemuan baru telah diperoleh sehingga menjadikan seseorang lebih
bijaksana dalam menghadapi suatu permasalahan yang ada.
Pada makalah ini, kelompok kami akan
membahas tokoh filsuf Yunani yang banyak berpengaruh dalam sejarah filsafat
Yunani Kuno. Dia adalah Socrates, Plato dan Aristoteles. Dalam makalah ini kami akan mencoba
menguraikan berbagai pemikiran-pemikiran Socrates, Plato dan Aristoteles yang
sangat controversial dan berpengaruh di jamannya serta melirik tentang
perjalanan hidup seorang Socrates, Plato dan Aristoteles yang terkenal dengan
pribadinya yang baik dan sederhana.
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan dibahas dalam
penulisan makalah ini adalah bagaimana pengaruh pemikiran tokoh-tokoh Yunani
Kuno seperti Socrates, Plato dan Aristoteles?
1.3 Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini yaitu dapat memperoleh
informasi mengenai pengaruh pemikiran tokoh-tokoh Yunani Kuno seperti Socrates,
Plato dan Aristoteles.
1.4 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui
memperoleh informasi mengenai pengaruh pemikiran tokoh-tokoh Yunani Kuno
seperti Socrates, Plato dan Aristoteles.
BAB
2
PEMIKIRAN
TOKOH SOCRATES, PLATO DAN ARISTOTELES
2.1 Telaah Tokoh
Socrates
Socrates lahir di Athena, tanggal 4
Juni 470 SM, dan merupakan generasi pertama dari tiga ahli filsafat besar di
Yunani, yaitu Socrates, Plato dan Aristoteles. Plato dan Aristoteles merupakan
murid Socrates. Ayah Socrates berprofesi sebagai pemahat patung dari batu (stone
mason) bernama Sophroniscos. Ibunya adalah seorang bidan yang bernama
Phainarete, dari sinilah Socrates menamakan metodenya berfilsafat dengan metode
kebidanan. Socrates beristri seorang perempuan bernama Xantippe dan dikaruniai
tiga orang anak yaitu Ramprocles, Sophroniscos dan Menexene. Socrates adalah
sosok tokoh filosuf yang penuh teka-teki dalam sejarah perkembangan filsafat.
Ia tidak pernah menulis sebaris kalimatpun dalam sebuah tulisan.
Masa hidup Socrates sezaman dengan
kaum sofis. Ia terkenal sebagai orang yang berbudi baik, jujur, dan adil. Cara
menyampaikan pemikirannya kepada para pemuda ia menggunakan metode tanya jawab.
Sebab itu ia memperoleh banyak simpati dari para pemuda di negerinya. Namun ia
juga kurang disenangi oleh orang banyak dengan menuduhnya sebagai orang yang
merusak moral para pemuda negerinya. Selain itu ia juga dituduh menolak
dewa-dewa atau tuhan-tuhan yang telah diakui negara.
Kelanjutan dari tuduhan terhadap
dirinya menjadikan ia diadili oleh pengadilan Athena. Dalam proses pengadilan
ia mengatakan pembelaanya yang kemudian ditulis oleh Plato dalam naskahnya yang
berjudul Apologi. Plato mengisahkan adanya tuduhan itu. Tuduhan mengatakan
bahwa Socrates tidak hanya menentang agama yang diakui oleh Negara, akan tetapi
juga mengajarkan agama baru buatannya sendiri. Salah seorang yang mendakwanya
yaitu Melithus, mengatakan bahwa dia adalah seorang tak-berTuhan dan
menambahkan: Socrates berkata matahari adalah batu dan bulan adalah tanah.
Socrates tentu saja mengatakan bahwa
tuduhan baru yang mengatakan dia atheis ini bertentangan dengan dakwaan
sebelumnya, dan selanjutnya ia memaparkan berbagai pendangan yang lebih luas.
Buku Apologi memberi gambaran jelas tentang sosok manusia tertentu: seorang
manusia yang sangat percaya diri, berjiwa besar, tak peduli pada kesukaan
duniawi, yakni bahwa ia dibimbing oleh suara illahi, dan yakin bahwa penalaran
yang jernih adalah syarat terpenting untuk hidup secara benar. Dalam Apologi,
Socrates membela dirinya bukanlah demi kepentingannya sendiri, melainkan demi
kepentingan para hakim. Menurutnya, para hakim adalah nyamuk masyarakat,
dikirim dewa ke negeri itu, dan tak mudah menemukan orang lain semacam dia
(Socrates). Socrates menjawab (menyangkal) tuduhan itu, dan menanyakan
kepadanya , siapakah orang yang memperbaiki pemuda. Melithus menjawab mula-mula
para hakim, kemudian terdesak sedikit mengatakan bahwa semua orang Athena
kecuali Socrates memperbaiki pemuda. Socrates mengucapkan selamat bahwa Athena
memiliki nasib baik untuk memiliki begitu banyak orang yang berusaha
memperbaiki pemuda, dan orang-orang baik tentu lebih pantas untuk dipergauli
dari pada orang jelek, maka dari itu ia tidak akan dapat menjadi begitu bodoh
untuk dapat merusak mereka dengan sengaja.
Setelah keputusan dibacakan, ia menolak
hukuman alternatif sebesar tiga puluh minae (yang untuk ini Socrates
menyebut nama Plato sebagai salah seorang yang sanggup membayarnya, dan hadir
dalam sidang itu), dan Socrates menyampaikan pidato terakhiranya tentang
kematian. Ia mengatakan bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya, kematian
merupakan terpisahnya jasad dari ruh untuk melanjutkan ke dunia selanjutnya.
Dalam proses pengadilan Socrates dinyatakan bersalah dengan suara 280 melawan 220.[1] Ia
dituntut hukuman mati. Socrates dihukum mati dengan meminum racun, ada yang
menyebutkan racun dari tumbuhan cemara, yang jelas racun itu yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan.
Cara matinya juga memberikan contoh,
betapa seorang filosof setia kepada ajarannya dan tetap menggenggam teguh
keyakinanya meskipun nyawa menjadi taruhannya. Socrates telah meninggal dunia,
tetapi nama dan pemikiran-pemikirannya tetap hidup untuk selama-lamanya.
Socrates merupakan orang yang biasa-biasa saja, semua orang sepakat bahwa raut
muka Socrates amat buruk, hidungnya papak dan perutnya begitu gendut; ia “lebih
jelek ketimbang para Silenus dalam drama Satiris” (Xenopon, Symposium).
Ia selalu mengenakan pakaian kumal dan tua, kemanapun ia pergi selalu
bertelanjang kaki. Sikapnya yang tak peduli pada panas dan dingin, lapar dan
haus mengherankan semua orang. Dalam Symposium, Alkibiades yang
mengisahkan Socrates ketika menjalani tugas militer bahwa dia lebih tanggung
dibandingkan teman-teman lainnya. Ketika dalam keadaan terputus dalam
perbekalan dan terpaksa berangkat tanpa makanan, dia tetap perkasa dibandingkan
yang lain. Pada saat itu cuaca sedang beku, tanpa menghiraukan rasa dingin dia
tetap melangkah dengan pasti diatas tumpukan es yang membatu dengan berpakaian
seperti biasanya, kumal dan bertelanjang kaki. Kemampuan mengendalikan semua
nafsu jasmani terus-menerus ditonjolkan. Dia jarang minum anggur, namun selagi
dia mau, dia lebih kuat minum dibanding semua orang.
2.1.1
Pemikiran Tokoh Socrates
Ajaran filosofis Socrates tidak
pernah dituliskannya, melainkan dilakukannya dengan perbuatan, praktik dalam
kehidupan. Dikatakan bahwa Socrates demikian adanya, sehingga ia tidak pernah
berbuat zalim. Ia begitu pandai menguasai dirinya, sehingga ia tidak pernah
memuaskan hawa nafsu dengan merugikan kepentingan orang lain. Ia demikian
cerdiknya, sehingga tak pernah khilaf dalam menimbang baik dan buruk. Kebiasaan sehari-harinya berjalan keliling
kota untuk mempelajari tingkah laku manusia dari berbagai segi hidupnya. Ia
berbicara dengan semua orang dan menanyakan apa yang diperbuatnya. Pertanyaan
itu pada mulanya mudah dan sederhana. Setiap jawaban disusul dengan pertanyaan
baru yang lebih mendalam. Tujuan Socrates, melalui pertanyaan-pertanyaan
tersebut, adalah untuk mengajar orang mencari kebenaran.
Cara yang dilakukan Socrates adalah
untuk membantah ajaran kaum Sofis yang mengatakan bahwa ‘kebenaran yang
sebenarnya tidak akan tercapai’. Oleh karena itu, tiap-tiap pendirian dapat
dibenarkan dengan jalan ‘retorika’. Apabila orang banyak sudah setuju, maka
dianggap sudah benar. Dengan cara begitu pengetahuan menjadi dangkal. Cara
inilah yang ditentang Socrates. Tanya
jawab adalah jalan untuk memperoleh pengatahuan. Itulah permulaan dialektik.
Dialektik asal katanya dialog, artinya bersoal jawab antara dua orang.[2]
Ia selalu berkata, yang ia ketahui Cuma satu, yaitu bahwa ia tidak tahu.
Ajaran bahwa semua kebenaran itu
relatif telah menggoyangkan teori-teori sains yang telah mapan, mengguncangkan
keyakinan agama. Ini menyebabkan kebingungan dan kekacauan dalam kehidupan.
Inilah sebabnya Socrates bangkit. Ia harus meyakinkan orang Athena bahwa tidak
semua kebenaran itu relatif, ada kebenaran umum yang dapat dipegang oleh semua
orang. Sebagian kebenaran memang relatif, tetapi tidak semuanya. Sayangnya,
Socrates tidak meninggalkan tulisan. Kaum sofis beranggapan bahwa semua
pengetahuan adalah relatif kebenarannya, tidak ada pengetahuan yang bersifat
umum. Dengan definisi itu Socrates dapat membuktikan kepada kaum sofis bahwa
pengetahuan yang umum itu ada, yaitu definisi itu sendiri. Jadi, kaum sofis
tidak seluruhnya benar, yang benar ialah sebagian pengetahuan bersifat umum dan
sebagian bersifat khusus, yang khusus itulah pengetahuan yang kebenarannya
relatif. Seperti contoh berikut: apakah kursi itu? Orang bisa periksa seluruh
kursi, kalau bisa seluruh kursi yang ada dunia ini. Misalnya kursi hakim
terdiri dari tempat duduk dan sandaran, berkaki empat, dari bahan kayu jati.
Kedua, kursi malas, terdiri dari tempat duduk, sandara dan berkaki empat,
terbuat dari besi anti karat begitulah seterusnya. Jadi dapat diambil
kesimpulah bahwa setiap kursi itu selalu ada tempat duduk dan sandaran. Kedua
ciri ini terdapat pada semua kursi. Sedangkan ciri yang lain tidak dimiliki
semua kursi. Maka, semua orang akan sepakat bahwa kursi adalah tempat duduk
yang bersandaran. Contoh tersebut merupakan kebenaran obyektif – umum, tidak
subyektif – relatif. Tentang jumlah kaki, bahan, ukuran, dsb. Merupakan
kebenaran yang relatif. Jadi, memang ada pengetahuan umum, itulah definisi.
Socrates mencari kebenaran dengan
cara Tanya jawab, yang kemudian dibulatkan dengan pengertian, maka jalan yang
ditempuhnya adalah metode induktif dan
definisi. Induksi yang
dimaksudkan Socrates adalah memperbandingkan secara kritis. Ia tidak berusaha
mencapai yang umumnya dari jumlah satu-satunya; ia mencari persamaan dan diuji
pula dengan saksi dan lawan saksi. Begitulah Socrates mencapai pengertian.
Dengan melalui induksi sampai pada definisi.
Definisi yaitu pembentukan pengertian yang bersifat dan berlaku umum. Induksi dan definisi menuju pengetahuan yang
berdasarkan pengertian. Model
mencari kebenaran dengan cara berdialog atau Tanya jawab tersebut, tercapai
pula tujuan yang lain, yaitu membentuk karakter. Oleh karena itu Socrates
mengatakan bahwa budi adalah tahu,
maksudnya budi-baik timbul dengan
pengetahuan.
Budi ialah tahu, adalah inti sari dari ajaran etika Socrates.
Orang yang berpengetahuan dengan sendirinya berbuat baik. Paham etikanya ini
merupakan kelanjutan dari metodenya. Induksi dan definisi menuju kepada
pengetahuan yang berdasarkan pengertian. Dari mengetahui beserta keinsafan
moril tidak boleh tidak mesti timbul budi. Siapa yang mengetahui hukum,
mestilah bertindak sesuai dengan pengetahuannya. Tidak mungkin ada pertentangan
antara keyakinan dan perbuatan. Oleh karena budi berdasar atas pengetahuan,
maka budi dapat dipelajari. Penjelasan
di atas memberikan penegasan bahwa ajaran etika Socrates bersifat intelektual
dan rasional. Oleh karena budi adalah
tahu, maka siapa yang tahu akan kebaikan dengan sendirinya mesti dan
harus berbuat yang baik. Apa yang pada hakekatnya baik, adalah juga baik untuk
siapa pun. Oleh karena itu, menuju
kebaikan adalah yang sebaik-baiknya untuk mencapai kesenangan hidup.
Menurut Socrates, manusia itu pada
dasarnya baik. Seperti dengan segala benda yang ada itu ada tujuannya,
begitu juga dengan hidup manusia. Keadaan dan tujuan manusia adalah kebaikan
sifatnya dan kebaikan budinya. Ajarannya
dapat diperolah dari tulisan murid-muridnya, terutama Plato. Bartens
menjelaskan ajaran Socrates itu ditujukan untuk menentang ajaran relativisme
sofis. Ia ingin menegakkan sains dan agama. Cara Socrates memberikan ajarannya
adalah ia mendatangi orang dengan bermacam-macam latar belakang mereka,
seperti: ahli politik, pejabat, tukang dan lain-lain.
Metode itu bersifat praktis dan
dijalankan melalui percakapan-percakapan. Ia menganalisis pendapat-pendapat.
Setiap orang mempunyai pendapat mengenai salah dan tidak salah, adil dan tidak
adil, berani dan pengecut, dsb. Socrates selalu menanggapi jawaban pertama
sebagai hipotesis dan dengan jawaban-jawaban lebih lanjut dan menarik
konsekuensi-konsekuensi yang dapat disimpulkan dari jawaban-jawaban tersebut.
Jika ternyata hipotesis pertama tidak dapat dipertahankan, karena menghasilkan
konsekuensi yang mustahil, maka hipotesis itu diganti dengan hipotesis lain,
lalu hipotesis kedua ini diselidiki dengan jawaban-jawaban lain, dan begitu
seterusnya. Sering terjadi percakapan itu berakhir dengan aporia (kebingunan).
Akan tetapi, tidak jarang dialog itu menghasilkan suatu definisi yang dianggap
berguna. Metode yang biasa digunakan Socrates biasanya disebut dialektika.
Menurut Plato, dialektika dalam
pengertian sebagai metode untuk menggali pengetahuan dengan cara tanya jawab,
bukan ditemukan oleh Socrates. Agaknya metode ini pertama kali dipraktikkan
secara sistematis oleh Zeno, murid Parmenindes; dalam dialog Plato berjudul Parmenindes,
Zeno mengungguli Socrates lewat cara yang sama dengan yang terjadi dalam
dialog-dialog Plato lainnya di mana Socrates mengungguli orang-orang lain.
Namun ada cukup alasan untuk menduga bahwa Socrates mempraktikkan sekaligus
mengembangkan merode ini. Metode Socrates dinamakan dialektika karena dialog
mempunyai peranan penting didalamnya. Sebutan yang lain ialah maieutika,
seni kebidanan, karena cara ini Socrates bertindak seperti seorang bidan yang
menolong kelahiran bayi “pengertian yang benar”.
Dengan cara bekerja yang demikian
itu Socrates menemukan suatu cara berfikir yang disebut induksi, yaitu:
menyimpulkan pengetahuan yang sifatnya umum dengan berpangkal dari banyak
pengetahuan tentang hal khusus. Misalnya: banyak orang yang menganggap
keahliannya (tukang besi, tukang sepatu, pemahat, dll) sebagai keutamaannya.
Seorang tukang besi berpendapat, bahwa keutamaannya adalah jikalau ia membuat
alat-alat dari besi yang baik. Seorang tukang sepatu menganggap sebagai
keutamaanya, jikalau ia membuat sepatu yang baik. Demikian seterusnya. Untuk mengetahui
apakah “keutamaan” pada umumnya, semua sifat khusus keutamaan-keutamaan yang
bermacam-macam itu harus disingkirkan. Tinggallah keutamaan yang sifatnya umum.
Demikianlah dengan induksi itu sekaligus ditemukan apa yang disebut definisi
umum. Definisi umum ini pada waktu itu belum dikenal. Socrateslah yang
menemukannya, yang ternyata penting sekali bagi ilmu pengetahuan. Bagi Socrates
definisi umum bukan pertama-tama diperlukan bagi keperluan ilmu pengetahuan,
melainkan bagi etika. Yang diperlukan adalah pengertian-pengertian etis,
seperti umpamanya: keadilan, kebenaran, persahabatan dan lain-lainya.
Socrates juga mengatakan bahwa jiwa
manusia bukanlah nafasnya semata-mata, tetapi asas hidup manusia dalam arti
yang lebih mendalam. Jiwa itu adalah intisari manusia, hakekat manusia sebagai
pribadi yang bertanggung jawab. Oleh karena jiwa adalah intisari manusia, maka
manusia wajib mengutamakan lebahagiaan jiwanya (eudaimonia = memiliki daimon
atau jiwa yang baik), lebih dari pada kebahagiaan tubuhnya atau kebahagiaan
yang lahiriah, seperti umpamanya: kesehatan dan kekayaan. Manusia harus membuat
jiwanya menjadi jiwa yang sebaik mungkin. Jikalau hanya hidup saja, hal
tersebut belum ada artinya. Pendirian Socrates yang terkenal adalah “Keutamaan
adalah Pengetahuan”. Keutamaan di bidang hidup baik tentu menjadikan orang
dapat hidup baik. Hidup baik berarti mempraktekkan pengetahuannya tentang hidup
baik itu. Jadi baik dan jahat dikaitkan dengan soal pengetahuan, bukan dengan
kemauan manusia.
Pada bagian kisah terakhir dalam
hidup Socrates, dimana ia menyampaikan pandangan tentang apa yang terjadi
sesudah mati, ia benar-benar yakin pada imortalitas. Seperti dalam cuplikan
pidato penutup Socrates setelah dia dijatuhi hukuman mati:
“Dan
sekarang wahai orang-orang yang telah menghukumku, ingin kuramalkan nasib
kalian; sebab sebentar lagi aku mati, dan saat-saat menjelang kematian manusia
dianugerahi kemampuan meramalkan. Dan kuramalkan kalian, para pembunuhku, bahwa
tak lama sesudah kepergianku maka hukuman yang jauh lebih berat daripada yang
kalian timpakan kepadaku pasti akan menantimu... jika kalian menyangka bahwa
dengan membunuh seseorang kalian dapat menjegal orang itu sehingga tak mengecam
hidup kalian yang tercela, kalian salah duga; itu bukan jalan keluar terhormat
dan membebaskan; jalan paling mudah dan bermartabat bukanlah dengan memberangus
orang lain, namun dengan memperbaiki diri kalian sendiri. Kematian mungkin sama
dengan tidur tanpa mimpi –yang jelas baik- atau mungkin pula berpindahnya jiwa
ke dunia lain. Dan adakah yang memberatkan manusia jika ia diberi kesempatan
untuk berbincang dengan Orpheus, Musaeus, Hesiodus, dab Homerus? Maka,
sekiranya hal ini benar, biarlah aku mati berulang kali. Di dunia lain itu
mereka tak akan menghukum mati seseorang hanya karena suka bertanya: tentu
tidak. Sebab kecuali sudah lebih berbahagia daripada kita saat ini, mereka yang
di dunia lain itu abadi, sekiranya apa yang sering dikisahkan itu benar... “
Dari uraian pidato penutup diatas, Socrates
percaya akan adanya Tuhan. Alam ini teratur susunannya menurut wujud yang
tertentu.Socrates telah percaya bahwa ada kehidupan setelah mati, dan mati
merupakan perpindahan jiwa manusia ke dunia selanjutnya. Orang mati hanya
meninggalkan jasad. Socrates berpendapat bahwa ruh itu telah ada sebelum
manusia, dalam keadaan yang tidak kita ketahui. Kendatipun ruh itu telah
bertali dengan tubuh manussia, tetapi diwaktu manusia itu mati, ruh itu kembali
kepada asalnya semua. Diwaktu orang berkata kepada Socrates, bahwa raja
bermaksud akan membunuhnya. Dia menjawab: “Socrates adalah di dalam kendi, raja
hanya bisa memecahkan kendi. Kendi pecah, tetapi air akan kembali ke dalam
laut”. Maksudnya, yang hancur luluh adalah tubuh, sedangkan jiwa adalah kekal
(abadi).
2.2 Pemikiran Plato
Plato dilahirkan di Athena pada
tahun 472 SM dan meninggal pada tahun 347 SM dalam usia 80 tahun. Plato adalah
murid Socrates yang paling terkemuka yang sepenuhnya menyerap ajaran-ajaran
pendidikan Socrates, yang kemudian mengembangkannya pemikiran filsafatnya
sendiri secara lengkap. Plato sendiri mendirikan sebuah akademi untuk belajar tentang
gagasan-gagasan yang akhirnya tumbuh menjadi suatu universitas pertama di
dunia. Sejak berumur 20 tahun Plato mengikuti ajaran Socrates. ajaran itulah
yang memberinya kepuasan pribadi baginya. Pengaruh Socrates semakin hari
semakin mendalam padanya. Ia menjadi murid Socrates ayang setia sampai pada
akhir hayatnya Socrates tetap menjadi panutanya.
Plato adalah orang pertama yang secara jelas mengemukakan
epistemologi dalam filsafat, meskipun ia belum menggunakan secara resmi istilah
epistemologi ini. Filsuf Yunani lainya yang berbicara mengenai epistemologi adalah Aristoteles. Ia merupakan murid
Plato dan pernah tinggal bersama Plato selama
kira-kira 20 tahun. Pembahasan tentang epistemologi Plato dan
Aristoteles akan lebih jelas dan ringkas apabila dilakukan dengan cara
membandingkan keduanya. Menurut Plato, Ide merupakan inti dasar dari
seluruh filsafat yang diajarkan oleh Plato. Ia beranggapan bahwa ide merupakan
suatu yang objektif, adanya ide terlepas dari subjek yang berfikir. Ide tidak
diciptakan oleh pemikiran individu, tetapi sebaliknya pemikiran itu tergantung
dari ide-ide. Ia memberikan beberapa contoh seperti segitiga yang digambarkan
di papan tulis dalam berbagai bentuk itu merupakan gambaran yang merupakan
tiruan tak sempurna dari ide tentang segituga. Maksudnya adalah berbagai macam
segitiga itu mempunyai satu ide tentang segitiga yang mewakili semua segitiga
yang ada.[3]
Dalam
menerangkan ide ini Plato menerangkan dengan teori dua dunianya, yaitu dunia
yang mencakup benda-benda jasmani yang disajikan pancaindera, sifat dari dunia
ini tidak tetap terus berubah, dan tidak ada suatu kesempurnaan. Dunia lainnya
adalah dunia ide, dan dunia ide ini semua serba tetap, sifatnya abadi dan
tentunya serba sempurna. Idelah yang mendasari dan menyebabkan terbenjadinya benda-benda
jasmani. Hubungan antara ide dan realitas jasmani bersifat sedemikian rupa
sehingga benda-benda jasmani tidak bisa berada tanpa pendasaran oleh ide-ide
itu. Hubungan antara ide dan realitas jasmani ini melalui 3 cara, pertama, ide
hadir dalam benda-benda konkrit. Kedua, benda konkrit mengambil bagian dalam ide,
disini Plato memperkenalkan partisipasi dalam filsafat. Ketiga, Ide merupakan
model atau contoh bagi benda-benda konkrit. Benda-benda konkrit itu merupakan
gambaran tak sempurna yang menyerupai model tersebut.[4]
Pandangan
tentang dunia, menurut Plato, Ada 2 dunia: dunia ide & dunia sekarang
(semu) sementara dalam pandangan Aristoteles, Hanya 1 dunia: Dunia nyata yang
sedang dijalani. Kenyataan sejati, menurut Plato, Ide-ide berasal dari dunia
ide. Sementara dalam kacamata Aristoteles, segala sesuatu yang ada di alam bisa
diindera. Pandangan tentang manusia, menurut Plato, Terdiri dari badan dan
jiwa. Jiwa abadi; badan fana (tidak abadi), Jiwa terpenjara oleh badan.
Sementara dalam pandangan Aristoteles, badan dan jiwa sebagai satu kesatuan tak
terpisahkan. Asal pengetahuan, menurut Plato, dunia ide, namun tertanam dalam
jiwa setiap manusia. Sementara dalam pandangan Aristoteles, kehidupan dunia dan
alam nyata. Cara meraih pengetahuan, menurut Plato, terpancar dari alam jiwa
(Anamnesis). Sementara dalam pandangan Aristoteles, observasi dan abstraksi
lalu diolah dengan logika. Perbedaan epistemologi Plato dan
Aristoteles ini memiliki pengaruh besar terhadap para filsuf modern. Idelisme
Plato mempengaruhi filsuf-filsuf Rasionalis seperti Spinoza, Leibniz, dan
Whitehead sedangkan pandangan Aristoteles tentang asal dan cara memperoleh
pengetahuan mempengaruhi filsuf-filsuf Empiris seperti Locke, Hume, dan
Berkeley.
Antara
abad 17 hingga akhir abad ke-19, masalah utama yang muncul dalam pembahasan
epistemologi adalah resistensi antara kubu rasionalis vis-à-vis kubu empiris
(inderawi-persepsi). Filsuf Francis, René Descartes (1596-1650), filsuf
Belanda, Baruch Spinoza (1632-1677), dan filsuf Jerman, Wilhelm Leibniz (1646-1716)
adalah para pemimpin kubu rasionalis. Mereka berpandangan bahwa sumber utama
dan pengujian akhir ilmu pengetahuan adalah logika deduktif (baca: qiyas) yang
bersandarkan kepada prinsip-prinsip swabukti (badihi) atau axioma-axioma.
Sementara orang-orang seperti, Francis Bacon (1561-1626) and John Locke
(1632-1704) keduanya adalah filsuf Inggris berkeyakinan bahwa sumber utama dan
pengujian akhir ilmu pengetahuan adalah bersandar kepada pengalaman, persepsi
dan inderawi.
Filsuf Francis René Descartes secara rigoris menggunakan metode deduksi dalam jelajah filsafatnya. Barangkali Descartes ini dikenal baik atas karya pionirnya untuk bersikap skeptis dalam berfilsafat. Dialah yang pertama kali memperkenalkan metode sangsi dalam investigasi terhadap ilmu pengetahuan.
Filsuf Francis René Descartes secara rigoris menggunakan metode deduksi dalam jelajah filsafatnya. Barangkali Descartes ini dikenal baik atas karya pionirnya untuk bersikap skeptis dalam berfilsafat. Dialah yang pertama kali memperkenalkan metode sangsi dalam investigasi terhadap ilmu pengetahuan.
Descartes
yang kerap disebut sebagai Bapak Filsafat Modern (sekaligus filsafatnya
kemudian dikenal sebagai Cartesians) ini dalam mengusung metode rasionalnya,
dia menggunakan metode sangsi dalam menyikapi pelbagai fenomena atau untuk
mencerap ilmu pengetahuan. Postulat, Cogito Ergo Sum adalah milik Descartes.
Rumusan postulat ini yang menemaninya untuk menyingkap ilmu pengetahuan.
Menurut Descartes segala sesuatu yang berada di dunia luar harus disangsikan
dan diragukan. Pandangan Descartes tentang
manusia bersifat dualisme. Ia melihat manusia sebagai dua substansi: jiwa dan
tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan. Tubuh tidak lain adalah
suatu mesin yang dijalankan jiwa. Hal ini dipengaruhi oleh epistemologinya yang
memandang rasio sebagai hal yang paling utama pada manusia.
Empirisme
pertama kali diperkenalkan oleh filsuf dan negarawan Inggris Francis Bacon pada
awal-awal abad ke-17, akan tetapi John Locke yang kemudian mendesainnya secara
sistemik yang dituangkan dalam bukunya “Essay
Concerning Human Understanding (1690). John Locke memandang bahwa akal
manusia pada awal lahirnya adalah ibarat sebuah tabula rasa, sebuah batu tulis
kosong tanpa isi, tanpa pengetahuan apapun. Lingkungan dan pengalamanlah yang
menjadikannya berisi. Pengalaman inderawi menjadi sumber pengetahuan bagi
manusia dan cara mendapatkannya lewat observasi dan pemanfaatan seluruh indera
manusia. John Locke adalah orang yang tidak percaya terhadap konsepsi intuisi
dan batin.
Filsuf
empirisme lainnya adalah Hume. Ia memandang manusia sebagai sekumpulan persepsi
(“a bundle or collection of perceptions”).
Manusia hanya mampu menangkap kesan-kesan saja lalu menyimpulkan kesan-kesan
itu seolah-olah berhubungan. Pada kenyataannya, menurut Hume, manusia tidak
mampu menangkap suatu substansi. Apa yang dianggap substansi oleh manusia
hanyalah kepercayaan saja. Begitu pula dalam menangkap hubungan sebab-akibat.
Manusia cenderung menganggap dua kejadian sebagai sebab dan akibat hanya karena
menyangka kejadian-kejadian itu ada kaitannya, padahal kenyataannya tidak
demikian. Selain itu, Hume menolak ide bahwa manusia memiliki kedirian (self). Apa yang dianggap sebagai diri
oleh manusia merupakan kumpulan persepsi saja.
2.3
Telaah Pemikiran Aristoteles
Stagira adalah sebuah kota kecil di
Semenanjung Chalcide, pantai Macedonia Yunani adalah tempat dimana Aristoteles
dilahirkan pada tahun 384 SM, ditengah-tengah keluarga Aristokrat dengan ayah
seorang Dokter Istana Anyntas.[5] Ia
meninggal di usia ke 62 tahun dalam sebuah pelarian, dimana ketika itu ia
dicurigai melakukan kejahatan dan diancam hukuman mati. Ketertarikan
Aristoteles akan teologi, ekonomi, politik, fisika hingga ke metafisika dan
etika membawanya menjadi murid Plato selama kurang lebih 20 tahun lamanya di Akademi.
Diantara buah karya terkenalnya yaitu Politica, berupa kumpulan
catatan-catatan kuliah yang sebetulnya belum pernah dibukukan sebelumnya.
Meskipun demikian, kitab ini, pada masanya, begitu diakui sebagai karya politik
yang mumpuni dan tersimpan di berbagai Universitas-universitas Islam di
Spanyol. .
Aristoteles sependapat dengan
gurunya (Plato), bahwa tujuan yang terakhir dari filsafat adalah pengatahuan
tentang ‘adanya’ (realitas) dan ‘yang umum’. Ia memiliki keyakinan bahwa
kebenaran yang sebenarnya hanya dapat dicapai dengan jalan pengertian.
Bagaimana memikirkan ‘adanya’ itu? Menurut Aristoteles ‘adanya’ itu tidak dapat
diketahui dari materi atau benda belaka; dan tidak pula dari pikiran
semata-mata tentang yang umum, seperti pendapat Plato. ‘Adanya’ itu terletak
dalam barang-barang satu-satunya, selama barang itu ditentukan oleh yang umum.
Aristoteles memiliki pandangan yang lebih realis daripada Plato. Pandangannya
ini merupakan akibat dari pendidikan orang tuanya yang menghadapkannya kepada bukti
dan kenyataan. Aristoteles terlebih dahulu memandang kepada yang kongkrit, yang
nyata. Ia mengawalinya dengan fakta-fakta, dan fakta-fakta tersebut disusunnya
menurut ragam dan jenis atau sifatnya dalam suatu sistem, kemudian dikaitkannya
satu sama lain.
Aristoteles terkenal sebagai ‘bapak’ logika. Logika tidak lain dari
berpikir secara teratur menurut urutan yang tepat atau berdasarkan hubungan
sebab dan akibat. Ia sendiri memberi nama model berpikirnya tersebut dengan
nama ‘analytica’, tetapi kemudian
lebih populer dengan dengan sebutan ‘logika’. Intisari dari ajaran logikanya
adalah silogistik, atau dapat juga digunakan kata ‘natijah’ daalam bahasa Arab. Silogistik maksudnya adalah ‘uraian
berkunci’, yaitu menarik kesimpulan dari pernyataan yang umum atas hal yang
khusus, yang tersendiri. Misalnya: Semua manusia akan mati (umum); Aristoteles
adalah seorang manusia (khusus); Aristoteles akan mati (kesimpulan).
Pertimbangan ini, yang berdasarkan kenyataan umum, mencapai kunci keterangan
terhadap suatu hal, yang tidak dapat disangkal kebenaranya.
Pengetahuan yang sebenarnya menurut
Aristoteles, berdasarkan pada pembentukan pendapat yang umum dan pemakaian
pengetahuan yang diperoleh itu atas hal yang khusus. Misalnya, ‘korupsi itu
buruk’; untuk membuktikan pernyataan yang sifatnya umum tersebut dapat
diperoleh dari kasus yang menunjukkan bahwa ‘korupsi itu ternyata telah
merugikan negara dan kesejahteraan warga negara’. Pengetahuan yang umum
bukanlah tujuan itu sendiri, tetapi merupakan jalan untuk mengetahui keadaan
yang konkrit, yang merupakan tujuan ilmu yang sebenarnya. Pengalaman dalam mencari ilmu
pengetahuan menurut Aristoteles, hanya menyatakan kepada kita ‘apa yang
terjadi’; sedangkan pengertian umum menerangkan ‘apa sebab itu terjadi’.
Pengertian ilmiah mencari yang umumnya, karena itu diselidikinya sebab-sebab
dan dasar-dasar dari segala yang ada. Memperoleh pengertian, yaitu menarik
kesimpulan atas suatu hal yang individual, yang spesifik, yang tersendiri, yang
particular, dari yang umum, dapat dipelajari dan diajarkan caranya kepada orang
lain.
Dalam logika Aristoteles membagi
logika dalam tiga bagian, yaitu mempertimbangkan,
menarik kesimpulan, dan membuktikan atau menerangkan. Suatu pertimbangana itu
‘benar’, apabila isi pertimbangan itu sepadan dengan keadaan yang nyata.
Pandangan ini sepadan dengan pendapat Sokrates yang menyatakan bahwa ‘buah pikiran yang dikeluarkan itu adalah
gambaran dari keadaan yang objektif’. Menarik kesimpulan atas yang satu
dari yang lain dapat dilakukan dengan dua jalan. Pertama, dengan jalan silogistik,
atau disebut juga apodiktik,
atau deduksi. Kedua, menggunakan cara epagogi atau induksi. Induksi bekerja
dengan cara menarik kesimpulan tentang yang umum dari pengetahuan yang
diperoleh dalam pengalaman tentang hal-hal yang individiil atau partikular.
Menurut Aristoteles, realitas yang
objektif tidak saja tertangkap dengan ‘pengertian’, tetapi juga sesuai dengan
dasar-dasar metafisika dan logika yang tertinggi. Dasar metafisika dan logika
tersebut ada tiga. Pertama,
semua yang benar harus sesuai dengan ‘adanya’ sendiri. Tidak mungkin ada
kebenaran kalau di dalamnya ada pertentangan. Keadaan ini disebut sebagai hukum identika.
Kedua, apabila ada dua
‘pernyataan’ tentang sesuatu, di mana yang satu meng’ia’kan dan yang lain
menidakkan, tentu hanya satu yang benar. Keadaan ini disebut hukum penyangkalan.
Ketiga, antara dua pernyataan yang bertentangan ‘mengiakan dan meniadakan’,
tidak mungkin ada pernyataan yang ketiga. Keadaan ini disebut hukum penyingkiran
yang ketiga.
Selanjutnya menurut Aristoteles,
‘adanya’ yang sebenarnya adalah ‘yang umum’ dan pengetahuan tentang hal tersbut
adalah ‘pengertian’. Dalam hal ini pendapatnya sama dengan Plato. Adapun yang
ditentang dari pendapat Plato adalah adanya perpisahan yang absolut antara yang
umum dan yang khusus, antara Ide dan gambarannya, antara pengertian dan
pemandangan, dan antara ada dan menjadi.
Ide, ‘yang umum’, adalah
sebagai ‘adanya’ yang sebenar-benarnya, sebab dari segala kejadian. Ilmu harus
menerangkan, bagaimana datangnya hal-hal yang khusus dan kelihatan itu dari
yang umum yang diketahui dengan pengertian. Tugas ilmu adalah ‘menyatakan’,
bahwa menurut logika pendapat yang khsusus (dari pengalaman) tidak boleh tidak
datang dari pengetahuan pengertian yang umum.
Metafisika Aristoteles berpusat pada persoalan
‘barang’ (materi)dan ‘bentuk’. ‘Barang’ atau ‘materi’ dalam pengertian
Aristoteles berbeda dengan pendapat umum tentang materi. Barang adalah materi
yang tidak mempunyai ‘bangun’, substansi belaka, yang menjadi pokok
segala-galanya. ‘Bentuk’ adalah ‘bangunnya’. Barang atau materi tidak mempunyai
sifat yang tertentu, karena tiap-tiap penentuan kualitatif menunjukkan
bentuknya. Marmer misalnya bukanlah benda, melainkan materi untuk memperoleh
bentuk tertentu seperti tonggak marmar, patung marmar, meja marmar, dan
seterusnya. Barang atau materi adalah sesuatu yang dapat mempunyai bentuk ini
dan itu. Barang atau materi hanya ‘kemungkinan’ atau ‘potensia’. Bentuk adalah pelaksanaan dari kemungkinan itu, aktualita. Hal ‘yang umum’ terlaksana
dalam’yang khusus’. Dengan ‘bentuk’ pikiran seperti itu, Aristoteles dapat
memecahkan masalah yang pokok dalam filsafat teoritika Yunani, yaitu memikiran
‘adanya’ begitu rupa, sehingga dari ‘adanya’ dapat diterangkan proses ‘menjadi’
dan ‘terjadi’. ’Menjadi’ adalah pelaksanaan keadaan yang sebenarnya dalam
kenyataan. Dipandang dari sudut tersebut, segala perubahan tak lain dari
pembentukan materi, pelaksanaan sesuatunya yang sudah ada dalam kemungkinan.
Ketika muncul pertanyaan: ‘bagaimana
terjadi dari kemungkinan saja satu pelaksanaan?’. Jawaban Aristoteles adalah
‘dari sebab yang menggerakkan’. Sebab
yang menggerakkan itu adalah Tuhan. Sebab-gerak yang pertama yang
immaterial, tidak bertubuh, tidak bergerak, dan tidak digerakkan, cerdas
sendirinya. Sebab-gerak yang pertama
itu adalah Tuhan, Nus. Kepada Tuhan atau Nu situ Aristoteles memberikan
segala sifat, yang diberikan oleh Plato kepada Ide Kebaikan, yaitu tetap
selama-lamanya, tidak berubah-ubah, terpisah dari yang lain tetapi sebab dari
segala-galanya. Nus ini
disamakan pula dengan pikiran murni, pikir daripada pikir. Semua perubahan itu
ada empat sebabnya yang pokok. Pertama,’barang’ atau
‘materi’ yang
memungkinkn terjadi sesuatu atasnya, disebut sebab-barang. Kedua, bentuk, yang terlaksana di dalam
barang, sebab-bentuk. Ketiga, sebab yang datang
dari luar, disebut sebab-gerak. Keempat,
tujuan,
yang dituju oleh perubahan dan gerak, disebut seba-tujuan. Misal, rumah, mesti meliputi empat prinsip di
atas. Materi atau barang, adalah
seperti kayu, batu, besi, dan bahan lainnya. Bentuk, adalah pengertian rumah. Sebab-gerak ialah tukang pembuat rumah. Tujuan adalah rumah yang sudah jadi.
Aristoteles berpendapat bahwa segala
yang terjadi di dunia ini adalah suatu perbuatan yang terwujud karena Tuhan
Pencipta alam. Selain itu, bahwa tiap-tiap yang hidup di ala mini merupakan
suatu organisme yang berkembang masing-masing menurut suatu gerak-tujuan. Alam
tidak berbuat dengan tidak bertujuan. Oleh karena itu, Aristoteles dipandang
sebagai pencetus ajaran tujuan, teleologi. Aristoteles dengan
pandangannya ini telah meletakkan dasar bagi ‘prinsip perkembangan’. Filsafat
alam. Alam meliputi semua yang berhubungan dengan materi dan badan-badan
yang begerak dan diam. Karena waktu merupakan ukuran gerak terhadap yang dahulu
dan yang kemudian, maka waktu menjadi tidak berhingga, tidak ada awalnya dan
tidak ada akhirnya. Lebih dari itu dinyatakan bahwa alam ada untuk
selama-lamanya. Seluruh alam adalah suatu organism yang besar, disusun oleh
Tuhan Penggerak Pertama menjadi suatu kesatuan menurut tujuan yang
tertentu. Dunia tersusun menurut tujuan
yang tertentu dengan kedudukan makhluk yang bertingkat-tingkat. Dalam susunan
yang bertingkat itu, yang rendah mengabdi dan memberikan jasa kepada yang di
atasnya. Tanaman memberikan jasa kepada binatang, binatang kepada manusia, kaum
perempuan kepada kaum laki-laki, dan badan kepada jiwa.
Aristoteles mengemukakan ada tiga jenis jiwa yang berurutan sifat
kesempurnaannya. Pertama, jiwa
tanaman, yang tujuannya menghasilkan makanan dan melaksanakan pertumbuhan. Kedua, jiwa hewan, selain melaksanakan
pertumbuhan, jiwa hewan mempunyai perasaan dan keinginan dan mendorong jiwa
sanggup bergerak. Ketiga, jiwa
manusia, yang selain dari mempunyai perasaan dan keinginan juga mempunyai
akal. Bentuk jiwa yang sesuai bagi
manusia menurut Aristoteles adalah roh atau pikiran. Ia membedakan dua macam
roh, yaitu roh yang bekerja dan roh yang menerima. Apabila roh yang bekerja
dapat member isi kepada roh yang menerima, maka lenyaplah yang kemudian ini.
Roh yang bekerja memperoleh bentuknya yang sempurna. Selain itu, ada yang
disebut roh praktis, yaitu roh yang mengemudikan kemauan dan perbuatan manusia.
Berbeda dengan Demokritos dan Plato yang menyatakan bahwa pusat kemauan
terletak di otak, menurut Aristoteles pusat kemauan itu terletak di hati.
Etika Aristoteles pada dasarnya
serupa dengan etika Sokrates dan Plato. Tujuannya adalah untuk mencapai eudaemonie, kebahagiaan sebagai ‘barang yang
tertinggi’ dalam kehidupan. Hanya saja, ia memahaminya secara realis dan
sederhana. Ia menekankan kepada kebaikan yang tercapai oleh manusia sesuai
dengan jenisnya laki-laki atau perempuan, derajatnya, kedudukannya, atau
pekerjaannya. Tujuan hidup adalah untuk merasakan kebahagiaan. Oleh karena itu
ukurannya lebih praktis. Tujuan hidup bukanlah untuk mengetahui apa itu budi,
tetapi bagaimana menjadi orang yang berbudi. Oleh karena itu, tugas dari etika
adalah mendidik kemauan manusia untuk
memiliki sikap yang pantas dalam segala perbuatan. Orang harus mempunyai
pertimbangan yang sehat, tahu menguasai diri, pandai mengadakan keseimbangan
antara keinginan dan cita-cita. Manusia yang tahu menguasai diri, hidup
sebagaimana mestinya, tidak terombang-ambing oleh hawa nafsu, tidak tertarik
oleh kemewahan.
Aristoteles mengambil ajaran jalan
tengah. Tiap-tiap budi perangai yang baik harus duduk sama tengah antara dua
sikap yang paling jauh tentangnya, misalnya berani antara pengecut dan nekat;
suka member antara kikir dan pemboros; rendah hati antara berjiwa budak dan
sombong; hati terbuka antara pendiam dan pengobrol. Ada tiga hal yang perlu
dipenuhi untuk mencapai kebahagiaan hidup. Pertama, manusia harus memiliki
harta secukupnya, supaya hidupnya terpelihara. Kedua, alat yang terbaik untuk
mencapai kebahagiaan adalah persahabatan. Ketiga, keadilan. Keadilan dalam arti
pembagian barang yang seimbang sesuai dengan tanggung jawab dan keadilan dalam
arti memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan. Kebahagiaan akan menimbulkan
kesenangan jiwa. Kesenangan jiwa ini akan mendorong seseorang untuk bekerja
lebih giat.
Dalam
sumbangsi pemikiran terhadap negara pelaksanaan etika
baru akan sempurna apabila dilaksanakan di dalam negara. Manusia adalah zoon
politikon, makhlukn sosial. Ia tidak dapat berdiri sendiri. Hubungan manusia
dengan negara adalah sebagai bagian terhadap seluruhnya. Tujuan negara adalah
mencapai keselamatan untuk semua penduduknya, memperoleh ‘barang yang
tertinggi’, yaitu kebahagiaan. Keadilan
adalah unsur negara yang esensil, untuk mencapai kebahagiaan. Kewajiban negara adalah mendidik
rakyat berpendirian tetap, berbudi baik, dan pandai mencapai yang
sebaik-baiknya. Aristoteles menentang
adanya penumpukkan capital pada seseorang. Oleh karena itu ia mencela profesi
pedagang. Ia sangat menentang tukar-menukar dengan cara riba. Ia bahkan
menganjurkan supaya negara mengambil tindakan yang tepat untuk mepengaruhi
penghidupan sosial, dan ukurannya adalah kepentingan yang sama tengah. Bagi
Aristoteles, tiang masyarakat adalah kaum menengah yang berbudi baik. Menurut
pendapatnya, ‘perbudakan adalah cetakan
alam’; sebagian manusia ada yang lahir untuk menjadi tuan dan sebagian
menjadi budak yang mengerjakan pekerjaan kasar. Perbudakan akan hilang apabila
sudah terdapat alat otomtis yang melakukan pekerjaan dengan sendirinya.
Aristoteles mengemukakan tiga bentuk negara. Pertama, monarki atau basilea. Kedua, aristokrasi, yaitu pemerintahan oleh
orang-orang yang sedikit jumlahnya. Ketiga, Politea atau timokrasi, yaitu pemerintahan
berdasarkan kekuasaan keseluruhan rakyat. Dalam istilah sekarang disebut
demokrasi. Dari tiga bentuk negara tersebut, yang terbaik menurutnya adalah kombinasi antara aristokrasi dan demokrasi. Kombinasi antara aristokrasi dan
demokrasi adalah yang sebaik-baiknya. Dalam pandangan ini ternyata Aristoteles
pun mengambil jalan tengah.
Menurut
Aristoteles, negara adalah lembaga politik yang paling berdaulat, sebagi
pemilik kekuasaan tertinggi jika menjaga tujuan didirikannya, yaitu
mensejahterakan seluruh warga negara, serta memanusiakan manusia. Negara dalam
pemikiran Aristoteles adalah pemilik kedaulatan tertinggi atas kesatuan
manusia, sehingga memiliki kekuasaan yang mutlak dan absolut demi mencipakan
kesejahteraan untuk warga negaranya. Bagi Aristoteles “negara sebagai
kelanjutan satuan famili yang merupakan fitrah kehidupan manusia tadi, adalah
merupakan bentuk yang sewajarnya.” [6]
“Negara menurut konsepsi Aristoteles
mempunyai tujuan tertentu, yaitu kesempurnaan (dalam arti kebaikan) hidup
manusia. Tetapi berbeda dari Plato yang ingin mencari pengertian negara dengan
memperbandingkannya dengan soal jiwa manusia, maka Aristoteles memandang negara
sebagai bentuk kumpulan ataupun lanjutan, yaitu gabungan, dari
kumpulan-kumpulan yang telah ada dan berbentuk lebih kecil.”[7]
Pemikiran termasyur Aristoteles,
adalah konsep manusia sebagai “zoon politicon” atau manusia politik.
Konsep Zoon Politicon inilah yang menjadi salah satu asal usul negara
terbentuknya negara menurut Aristoteles. Dimana manusia sebagai mahluk politik
membutuhkan negara sebagai sarana aktualisasi diri. Kemudian untuk berdiri,
diperlukan komponen kenegaraan seperti desa yang didalamnya terdapat
keluarga-keluarga. Manusia-manusia dengan unit-unit kecil ini saling
membutuhkan satu sama lain, dimana ada hubungan ketergantungan diantara mereka.
Kriteria bentuk negara dalam pemikiran Aristoteles antara lain:
1.
Berapa jumlah orang yang memegang
kekuasaan
2.
Apa tujuan
dibentuknya negara
Dari dua kriteria tersebut, dapat
digolongkan, apakah negara berbentuk monarki dimana kekuasaan terletak ditangan
satu orang namun bertujuan untuk mensejahterakan semua. Penyimpangan terjadi
jika Penguasa tersebut menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi dan
berlaku sewenang-wenang. Sebaliknya jika negara dikuasai oleh beberapa orang
dan bertujuan untuk kepentingan umum disebut aristokrasi. Dan jika pemerintahan
aristokrasi tersebut menyimpang bentuk negara menjadi oligarki dimana kekuasaan
oleh sedikit orang tidak mewujudkan kesejahteraan rakyat. Terakhir, jika negara
berada dibawah kuasa orang banyak dan bertujuan untuk kepentingan bersama
disebut politea. Sebaliknya, demokrasi yang bermakna konotasi bagi
Aristoteles didefinisikan sebagai negara yang dipegang oleh banyak orang tidak
terdidik dan hanya untuk kepentingan mereka yang berkuasa tersebut, dan bagi
Aristoteles, bentuk negara ini tidak ideal. [8] dalam
Politics, pesimistis Aristoteles
terhadap model demokrasi terrefleksi dalam pernyataannya:
“Sebab banyak orang, dimana setiap
individu tidak lain, kecuali orang hebat, ketika mereka saling bertemu mungkin
sekali akan lebih baik daripada beberapa orang yang baik, jika dinilai bukan
secara individual melainkan secara kolektif.... sebab setiap individu diantara
banyak orang memiliki bagian kebajikan dan kebijaksanaan, dan ketika mereka
saling bertemu, mereka menjadi satu manusia yang memiliki banyak kaki, tangan
dan perasaan.”[9]
Dalam penegasan Aristoteles “negara
bukan hanya syarat fisik, namun juga sesuatu yang akan diperjuangkan oleh
karakter manusia, meski tidak sempurna, secara khusus dan melawan dengan
berbagai keadaan. Dengan demikian, negara adalah fakta empirik prilaku manusia
bukan hanya postulat moral semata.[10] Karenanya,
negara dianggap ideal dan memuaskan secara etika lah yang menjadi syarat bagi
perkembangan manusia secara utuh. Sebagaimana dalam pembukaan Politics, diungkapkan
Aristoteles:
“Setiap
negara merupakan suatu komunitas dari berbagai jenis dan setiap komunitas ada
dengan suatu pandangan mengenai kebaikan; sebab kemanusiaan selalu bertindak
untuk mencapai apa yang mereka anggap baik. Namun, jika semua komunitas bertujuan
untuk kebaikan , negara atau komunitas politik yang merupakan komunitas
tertinggi dan mencakup yang lain bertujuan pada kebaikan dalam derajat yang
lebih tinggi dibandingkan yang lain pada kebaikan tertinggi.” [11]
Sementara terkait perlunya konstitusi untuk mengatur
negara, bagi Aristoteles konstitusi idealnya adalah:
“Konstitusi
yang terbaik bagi kebanyakan negara dan kehidupan yang terbaik bagi kebanyakan
manusia, dengan tidak menganggap standar kebijakan yang berada diatas manusia
yang hebat, atau pendidikan yang dihadiahkan oleh alam dan keadaan atau negara
ideal yang hanya merupakan aspirasi semata, namun dengan mempertimbangkan
kehidupan yang disitu mayoritas bisa berbagi dan bentuk pemerintahan yang bisa
dicapai oleh negara pada umumnya.”[12]
Aristoteles melihat konstitusi sebagai “pandangan
hidup” yaitu menyatukan unsur-unsur yang tersebar untuk memperbaiki suatu
komunitas politik dengan membentuk prinsip-prinsip pelaksanaannya,
lembaga-lembaganya, tradisi dan kebiasaannya. Lembaga-lembaga Pemerintah harus
memberi perhatian khusus terhadap konstitusi atau pandangan hidup rakyat.
Diantara yang menarik dari pemikiran Aristotles yaitu pembenarannya akan sistem
Perbudakan. Menurut Aristoteles, perbudakan ada dikarenakan negara perlu
memisahkan antara para pekerja kasar dengan kaum pemikir/aristrokrat. Negara
membutuhkan para pekerja kasar untuk pembangunan, agar kaum Aristrokrat dapat
memfokuskan diri pada pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan negara dan
kesejahteraan rakyat.
BAB
3
KESIMPULAN
Sosok Socrates, Plato dan
Aristoteles sudah dikenal sebagai Pemikir (filsuf) yang cukup tua dan kontribusinya
sangat berpegaruh terhadap kehidupan Politik Dunia. Ketiga filsuf yang
menggambarkan konsep yang dikenal luas sebagai pemikir yang berbasis kepada
ilmu filsafat. Perlu diketahui, tidak semua konsepsi dalam keilmuan
berlandaskan kepada filsafat. Deliar Noor dalam bukunya mengungkapkan perbedaan
antara Plato dan Aristoteles antara lain:
“Plato
memandang segala sesuatu dalam rangka kesatuan menyeluruh, yaitu Nan Ada; dalam
rangka mana negara mempunyai tempat dan fungsi tertentu. Aristoteles berhenti
pada apa yang dianggapnya perkembangan terakhir (dan tersempurna) dari kumpulan
manusia yang disebutnya negara itu, tidak meluaskannya hingga rangka kesatuan
keseluruhan apa yang ada ini. Arti diri seseorang terletak dalam keanggotaannya
sebagai anggota negara dan tidak ada hubungannya dengan bentuk yang lebih luas
daripada itu, ataupun dengan alam semesta ini.... Aristoteles mengakui
kenyataan kehidupan berupa keperluan berkeluarga dan keperluan memiliki.[13]
Setelah kemunculan “bringing the
state back in” kajian terhadap pentingnya peran-peran negara, bahwa negara
adalah berdaulat dan negara memiliki kewajiban diantaranya untuk
mensejahterakan rakyat kembali menarik perhatian para Ilmuan Politik dunia.
Sebelumnya, kemunculan ideologi Liberal yang mengedepankan individualisme telah
mengikis bagaimana peran negara. Peran negara dalam konsepsi pemikiran Liberal
adalah sebatas “penjaga malam” dan kondisi ini terus berkembang seiring dengan
berkembangnya sistem politik ekonomi-liberal, khususnya dinegara-negara barat.
Dengan demikian, peran-peran negara sebagaimana diurai Plato kerap luntur
akibat sistem yang individualistik. Plato yang menegaskan tentang pentingnya
kolektivisme dengan menentang kepemilikan pribadi sekilas memiliki kemiripan
pemikiran dengan Marxian.
Kedua tokoh pemikir besar di era
Yunani klasik ini, sesunggunhya adalah yang terpenting diantara pemberi
kontribusi terbesar dalam dunia pengetahuan politik. Selain konsepsi tentang
pembentukan negara, model-model negara ideal, sampai konsepsi masyarakat,
keadilan, perihal konstitusi hingga telaah atas manusia sebagai individu
terrefleksikan dalam pemikiran mereka. Menandakan bahwa sebagai filsuf, Plato
dan Aristoteles adalah tipe pemikir politik yang dilandasi pengetahun berdasar,
mereka terlebih dahulu memahami manusia dan alam, untuk kemudian mengangkatnya
kedalam kehidupan sosial, interaksi dan kebutuhan.
Filsafat Aristoteles bersifat
naturalistis karena sifat empirisnya. Pengertian naturalistis selanjutnya
adalah ia percaya bahwa alam semesta terdiri dari sebuah herarki, masing-masing
dengan sebuah kodart atau hakikat. Pendangan naturalistisnya mengenai alam
semesta tidak tergantung pada kepercayaan-kepercayaan theologis. Logika
Aristoteles adalah suatu sistem berfikir deduktif (deductive reasioning), yang
bahkan sampai saat ini masih dianggap sebagai dasar dari setiap pelajaran
tentang logika formal. Meskipun demikian, dalam penelitian ilmiahnya ia
menyadari pula pentingnya obseevasi, experimen dan berfikir induktif (inductive
thinking).
Meskipun sebagian besar ilmu
pengetahuan yang dikembangkannya terasa lebih merupakan penjelasan dari hal-hal
yang masuk akal. Banyak teorinya yang bertahan bahkan hampir selama dua ribu
tahun lamanya. Hal ini terjadi karena teori-teori tersebut karena dianggap
masuk akal sesuai dengan pemikiran masyarakat pada umumnya, meskipun kemudian
ternyata bahwa teori-teori tersebut slah total karena asumsi yang keliru. Sebagai
contoh ketika Aristoteles menyetujui adanya perbudakan karena menurutnya hal
ini sejalan dengan hukum alam dimana yang lemah akan kalah oleh yang kuat.
Socrates merupakan seorang filsuf
Yunani kuno yang lahir di Athena pada tahun 470 SM yang merupakan tokoh paling
penting dalam filosofis negara barat. Dia adalah orang yang sederhana, yang
selalu berpakaian tua dan kumal serta tidak pernah memakai alas kaki. Dia
adalah orang yang baik, jujur dan adil. Ayah Socrates adalah soorang pemahat
patung dan ibu Socrates adalah seorang bidan yang kemudian dengan pekerjaan
ibunya itu dia mendapat inspirasi tentang pemikiran yang dilakukan oleh seorang
bidan. Filsafat Pra Sokrates hanya membahas tentang Obyek alam, sedangkan
Sokrates disamping membahas alam juga membahas manusia, jiwa, dan yang lainya.
Dari hal tersebut timbullah pemikiran-pemikiran yang sangat bermanfaat sampai
sekarang ini. Adapun pemikiran-pemikirannya adalah sebagai berikut:
a.
Pemikiran
tentang adanya kebenaran umum, karena Socrates berfikir bahwa tidak semua
kebenaran itu bersifat relatif atau disebut juga cara berfikir induksi,
yaitu menyimpulkan pengetahuan yang sifatnya umum dengan berpangkal dari banyak
pengetahuan tentang hal yang bersifat khusus.
b.
Metode
dialektika, yang sebenarnya telah diterapkan oleh seorang filsuf bernama Zeno
yang merupakan murid dari Parmenindes. Meskipun demikian, Socrateslah yang
mengembangkan metode ini. Cara kerjanya adalah seperti nama metodenya yaitu
dengan cara bertanya-jawab atau berdialog. Metode ini juga disebut dengan maieutika
atau seni kebidanan.
c.
Pemikiran
tentang “keutamaan adalah pengetahuan” jadi semua hal dikaitkan dengan
pengetahuan yang telah ada. Bahkan Socrates telah menjelaskan bahwa baik dan
jahat dalam kehidupan manusia dikaitkan dengan pengetahuan, bukan dengan
kemauan manusia.
Perenungan untuk kita patut kita
cermati, bahwa kebanyakan tokoh pemikir dimasa lalu adalah mereka yang meminati
dan berkonsentrasi kepada lebih dari satu bidang kajian. Hal ini memperlihatkan
bagaimana multiperspektifnya para Pemikir dimasa lalu, kadang mereka
mengkaitkan fenomena alam dengan kondisi sosial, menggunakan rumusan science diluar rumusan sosial dalam
memahami fenomena di masyarakat, dan yang terpenting mereka berkiblat, salah
satunya kepada pendekatan filsafat. Hal ini lah sepertinya yang minim dimasa
kini, dimana banyak kajian keilmuan yang tidak lagi menjadikan filsafat sebagai
salasatu basis pengkajian dalam pengembangan satu bidang keilmuan. Bahkan pemisahan
antara Ilmu Pengetahuan Sosial dan Ilmu Pengetahuan Alam semakin diperjelas,
hingga menjauhkan banyak keilmuan dari akar filosofis yang sebetulnya bagus
untuk dijadikan landasan teori dan pemikiran. Dengan demikian, apa yang dulu
dibawa Socrates, Plato, dan Aristoteles selayaknya dihidupkan kembali oleh para
pedoman dimasa modern ini, sehingga Ilmu Pengetahuan, khususnya dalam kehidupan
sehari-hari menjadi pegangan dasar kita untuk tidak menjadi sebatas teori,
melainkan menjadi sebuah realisasi dari hati dan mempertimbangkan keadilan
alam.
DAFTAR
PUTSAKA
Ajat
Sudrajat dari buku yang diitulis oleh Muhammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: UI Press, 2011.
Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Hatta, Mohammad. 1986. Alam
Pikiran Yunani. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Henry
J. Schmandt. Filsafat Politik: Kajian
Historis dari Zaman Yunani Kuno Sampai Zaman Modern.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Nisbet,
The Social Philosopher
Noer,
Deliar. Pemikiran Politik Di Negeri
Barat. Bandung: Mizan, 1999.
Plato.
Republik (modern Library),
terj. B. Jowett (New York: Random House).
Russell,
Bertrand, Sejarah Filsafat Barat
Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman Kuno
hingga Sekarang,Yogyakarta,2002.
Schmandt,
Henry. Filsafat Politik: Kajian
Historis dari Zaman Yunani Kuno Sampai Zaman Modern.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Halaman 93
Suhelmi,
Ahmad. Pemikiran Politik Barat:
Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara,
Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: Penerbit Gramedia, 1999.
[1]
Russell,Bertrand,Sejarah Filsafat
Barat Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman Kuno hingga Sekarang,Yogyakarta,2002. Halaman 82
[2]
Ajat Sudrajat dari buku yang diitulis oleh Muhammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: UI Press, 2011.
[5]
Nisbet, The Social Philosopher,
hal. 9-10.
[6]
Ibid Halaman 28
[7]
Ibid Halaman 29
[8]
Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik
Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara,
Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: Penerbit Gramedia, 1999.halaman
46-47
[9]
Ibid.
[10]
Schmandt, Henry. Filsafat Politik:
Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno Sampai Zaman
Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Halaman 93
[11] Schmandt, Henry. Filsafat Politik: Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno Sampai Zaman
Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Halaman 94
[13]
Noer, Deliar. Pemikiran Politik Di
Negeri Barat. Bandung: Mizan, 1999. Halaman 18
Komentar
Posting Komentar