Kontroversi Buku Il Principe (Sang Pangeran) Karya Niccolò Machiavelli dan Kaitan dengan Prahara Pilkada Gubernur DKI Jakarta
Kontroversi Buku Il Principe (Sang Pangeran) Karya Niccolò Machiavelli
dan Kaitan dengan Prahara Pilkada Gubernur DKI Jakarta
Oleh Muhammad Naufal, Ilmu Sejarah 1506681033
Oleh Muhammad Naufal, Ilmu Sejarah 1506681033
Siapa
yang tidak mengenal sosok Niccolò Machiavelli pemikir ulung asal Italia yang
dikenal dalam ilmu politik sebagai ahli teori, sekaligus figure dalam teori
realitas politk . Selain pintar Machiavelli adalah seorang filsuf besar dalam
peradaban filsafat modern. Pemikirannya sangat berkembang luas pada masa
renaissance pada abad ke-16. Tidak heran apabila pada masa itu Machiavelli
ditempatkan sebagai pribadi yang penuh retorika, kejam, dan dipenuhi keinginan
rasional yang destruktif. Terlepas dari kontroversi karyanya, ia tetap diakui
sebagai seorang filsuf besar yang brilian dan jenius pada bidangnya.
Kontroversi
tentang Machiavelli terletak dalam buku karyanya yang berjudul Il Principe
(Sang Pangeran). Dalam bukunya tersebut, Machiavelli menyampaikan konsep
mengenai cara mendapatkan dan mengamankan kekuasaan politik. Ia juga
menguraikan tentang tindakan apa saja yang bisa atau dianggap perlu dilakukan
seseorang untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Machiavelli memang
adalah seorang yang pertama kali mendiskusikan fenomena sosial politik tanpa
merujuk pada sumber etis ataupun hukum. Pendekatan inilah yang dilakukan
pertama yang sifatnya murni scientific terhadap politik. Menurut
Machiavelli, politik hanya berkaitan dengan satu hal, yaitu bagaimana cara memperoleh
dan mempertahankan kekuasaan. Hal lainnya, sama halnya dengan agama dan
moralitas yang selama ini dikaitkan dengan politik padahal sesungguhnya kedua
hal itu tidak memiliki hubungannya dengan politik. Kecuali bahwa agama dan
moral tersebut membantu untuk bagaimana mendapatkan dan mempertahankan
kekuasaan politik.
Pandangan
ini menimbulkan kontroversi pada masanya. Sebab sangat berbeda sekali dengan
filsuf besar abad pertengahan lainya seperti Thomas Aquinas. Apabila Aquinas
memandang agama itu dari sudut pandang filsafat maka Machiavelli melihat dari
sudut pandang pragmatisme dan kepentingan politik praktis. Menurut Machiavelli,
agama memiliki makna bila berguna bagi kepentingan politik kekuasaan.
Machiavelli tidak peduli apakah dari segi doktrin dan ajaran, agama itu benar
atau salah. Ia bahkan tidak tertarik dengan masalah kebenaran suatu agama.
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa sejauh agama itu bermanfaat bagi kepentingan poltik dan kekuasaan, agama tersebut harus dipertahankan dan didukung. Machiavelli menambahkan bahwa keahlian yang dibutuhkan untuk mendapat dan melestarikan kekuasaan adalah sebuah “perhitungan/kalkulasi.” Menurut Machiavelli, seorang politikus wajib mengetahui dengan benar apa yang harus dilakukan atau apa yang harus dikatakan dalam setiap situasi. Pemikiran inilah yang memicu munculnya kontroversi di banyak kalangan.
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa sejauh agama itu bermanfaat bagi kepentingan poltik dan kekuasaan, agama tersebut harus dipertahankan dan didukung. Machiavelli menambahkan bahwa keahlian yang dibutuhkan untuk mendapat dan melestarikan kekuasaan adalah sebuah “perhitungan/kalkulasi.” Menurut Machiavelli, seorang politikus wajib mengetahui dengan benar apa yang harus dilakukan atau apa yang harus dikatakan dalam setiap situasi. Pemikiran inilah yang memicu munculnya kontroversi di banyak kalangan.
Machiavelli
mengatakan bahwa agama diperlukan bukan karena nilai yang terkandung di
dalamnya, tetapi sebagai alat untuk membentuk sikap patuh masyarakat terhadap
pemimpin. Pemikiran ini sangat terkesan terlalu merendahkan posisi agama. Namun
dalam praktek politiknya di Indonesia, fakta yang mendukung pernyataan
Machiavelli sangat mudah dapat ditemukan. Sejarah bangsa Indonesia mencatat
bahwa agama selalu ikut ambil bagian dalam kancah perpolitikan. Semakin terasa
saat Pilpres atau Pilkada. Agama menjadi sebuah kemasan saat Pilpres atau
Pilkada, yang isinya adalah kepentingan politik. Hal ini memperlihatkan ada
hubungan erat antara agama dan politik. Relasi keduanya memunculkan 2
kemungkinan. Pertama, agama memanfaatkan politik (kekuasaan) untuk mencapai
tujuan kelompok agamanya dan kedua, politik yang memanfaatkan agama untuk
memperoleh kekuasaan. Khusus agama, ketika agama menjadi alat untuk meraih
kekuasaan maka agama menjadi sangat rentan terhadap manipulasi.
Fenomena
seperti ini memang kembali berhembus kencang pada Pilkada Gubernur DKI Jakrta
2017. Dimana politik untuk kepentingan agama atau sebaliknya agama untuk
kepentingan politik menciptakan pengkrucutan tajam antar pendukung
masing-masing pasangan calon. Tidak hanya saat putaran pertama digelar,
tetapi angin itu terus berhembus menjelang putaran ke-2 dengan Paslon tersisa
Basuki Tjahaya Purnama dan Anis Baswedan. Ironisnya, kecenderungan untuk memanfaatkan
agama sebagai alat politik ala Machiavelli digunakan dalam Pilkada kali ini.
Pemikiran
Machiavelli pada Pilkada kali ini sungguh membuat kita bergeleng-geleng kepala.
Mengapa hal itu terjadi, menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) putaran kedua,
isu agama dimunculkan kembali kepada lawan petahana Basuki Tjahaja Purnama
(Ahok). Tidak hanya di sosial media, isu tersebut juga mulai bertebaran di
masjid-masjid berupa ceramah dan banner-banner di halaman masjid dengan tulisan
ancaman “ MASJID INI TIDAK MENSHOLATKAN JENAZAH PENDUKUNG & PENISTA AGAMA”.
Beberapa bukti ini jika kita telusuri lebih jauh, menggambarkan adanya trend
politik ala Machiavell di Pilkada Jakarta. Tentu saja yang paling dirugikan
dalam kasus ini adalah kubu petahana yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Sebagai orang yang memiliki latar belakang Chinese (minoritas) yang hidup
ditengah-tengah masyarakat Jakarta yang beragama Islam (mayoritas), isu
tersebut sangat akan mempengaruhi konstituen.
Bergulirnya
isu agama yang dilancarkan oleh lawan politik Ahok ini tentu saja bukan tanpa
dasar. Karena beberapa isu yang di publish untuk menyerang Ahok sama mulai dari
ayat hingga mayat sekali tidak membuat elektabilitas Ahok turun dan justru
meningkat. Walaupun isu agama ini dianggap sebagai senjata yang ampuh untuk
menjatuhkan Ahok. Sebagai umat Islam kita merasa malu. Dalam sebuah negara yang
menganut sistem demokrasi, tentu saja mendiskreditkan seseorang dengan isu
agama, ras dan lain sebagainya bukanlah sesuatu yang mencenangkan dan malah
sangat disayangkan. Bukannya membuat kita menjadi dewasa dalam berpolitik,
justru itu malah menambah kita menjadi sebuah bangsa yang berpikir sempit.
Perlu diketahui pada sejatinya demokrasi adalah memberikan kebebasan kepada
siapapun seseorang untuk ikut serta menggunakan hak politiknya. Pilkada
DKI Jakarta Putaran ke-2 memang tinggal menghitung hari
Dalam
hitungan hari, masih banyak yang harusnya bisa dilakukan pasangan calon
untuk beradu gagasan, pemikiran untuk kemajuan kota Jakarta. Karana siapapun
Gubernurnya tujuannya dari dulu tetap satu “Mewujudkan NKRI yang Bhineka
Tunggal Ika”. Neo-Machiavellisme tidak akan bisa mencetak generasi bangsa yang
berkualitas. Justru itu akan menghancurkan kualias bangsa itu sendiri. Sebab,
menghalalkan segala cara bukan cara yang Tuhan wariskan kepada manusia. Agama
memang diperlukan bukan karena nilai yang terkandung di dalamnya, tetapi
sebagai alat untuk membentuk sikap patuh masyarakat terhadap pemimpin.
Perlu diketahui pada sejatinya demokrasi adalah memberikan kebebasan kepada siapapun seseorang untuk ikut serta menggunakan hak politiknya. Kapan bangsa ini mau maju kalau urusan SARA terus yang dibesar-besarkan. Jangan gunakan Agama sebagai kendaraan menghancurkan lawan politik sebab masuk surganya sesorang tidak dari memilih pasangan calon melainkan amal dan perbuatan yang kita perbuat. Stop politisasi agama dan semoga bangsa ini menjadi lebih dewasa dalam berdemokrasi. @Novalindo9
Perlu diketahui pada sejatinya demokrasi adalah memberikan kebebasan kepada siapapun seseorang untuk ikut serta menggunakan hak politiknya. Kapan bangsa ini mau maju kalau urusan SARA terus yang dibesar-besarkan. Jangan gunakan Agama sebagai kendaraan menghancurkan lawan politik sebab masuk surganya sesorang tidak dari memilih pasangan calon melainkan amal dan perbuatan yang kita perbuat. Stop politisasi agama dan semoga bangsa ini menjadi lebih dewasa dalam berdemokrasi. @Novalindo9
Komentar
Posting Komentar