Aquinas Mendamaikan Akal dan Hati
Oleh: Nailah Azkiya' - Prodi Indonesia - 1606912152
Setelah runtuhnya masa filsafat Yunani Kuno, munculah Abad Pertengahan dengan kekuatan hegemoni gereja yang hampir mutlak. Hal ini bisa dikatakan sebagai pembalasan atas kemutlakan pengaruh akal yang terjadi pada masa Yunani Kuno. Para filsuf Abad Pertengah sangat berpegang teguh pada dogma-dogma gereja, terpaku pada wahyu illahi. Akan tetapi, di akhir masa Abad Pertengahan muncul seorang filsuf bernama Thomas Aquinas yang banyak memiliki perbedaan pemikiran dengan filsuf-filsuf Abad Pertengahan lainnya.
Thomas Aquinas merupakan generasi lanjutan dari pemikiran Santa Augustinus. Meski demikian, Thomas Aquinas memiliki perbedaan jarak seribu tahun dengan Santa Augustinus. Meskipun berangkat dari sesorang yang sangat dekat dengan agama, seorang pembelajar theologi, Thomas Aquinas malah memiliki pemikiran yang cenderung materialistis dan lebih berfokus pada dunia nyata ketimbang dunia ide. Pemikiran Thomas Aquinas memiliki kemiripan dengan nilai-nilai yang dianut oleh Aristoteles.
Akan tetapi di sisi lain Thomas Aquinas mengembangkan sudut pandang baru dalam filsafat yakni filsafat ketuhanan yang sebelumnya belum pernah ada di zamannya. Ia mempercayai bahwa keberadaan Tuhan bisa dirasionalisasi dengan akal. Guna mendukung keyakinannya tersebut Thomas Aquinas mengajukan 5 argumen yang terangkum dalam 5 dalil Aquinas, yaitu:
1. Argumen gerak
Argumen ini diangkat dari sifat alam yang selalu bergerak. Di dalam alam ini segala sesuatu bergerak. Dari sini dibuktikan Tuhan ada. Bierman dan Gould (1973:639) menamakan argumen ini argumen gerak. Jelas sekali bahwa tidak mungkin suatu perubahan dari potensialitas bergerak ke aktualitas bergerak tanpa ada penyebabnya, dan penyebab itu tidak mungkin ada pada dirinya sendiri. Dengan kata lain, tidak mungkin sesuatu bergerak sendiri. Gerakan adalah perubahan dari potentia ke actus: potentia tanpa sebab lain tidak mungkin actus. Akan tetapi, timbul persoalan: bila sesuatu bergerak hanya karena penggerak yang menggerakkannya, tentu penggerak itu pun memerlukan pula penggerak di luar dirinya. Bila demikian, terjadilah penggerak berangkai yang tidak terbatas. Konsekuensinya ialah tidak ada penggerak. Menjawab persoalan ini Aquinas mengatakan bahwa justru karena itulah maka sepantasnya kita sampai pada Penggerak Pertama, yaitu Penggerak Yang tidak digerakkan oleh yang lain. Itulah Tuhan.
2. Sebab yang mencukupi
Argumen ini disebut sebab yang mencukupi (efficient cause). Di dalam dunia inderawi kita saksikan adanya sebab yang mencukupi. Tidak ada sesuatu yang mempunyai sebab pada dirinya sendiri sebab, bila demikian, ia mesti menjadi lebih dulu daripada dirinya. Ini tidak mungkin. Dalam kenyataannya yang ada ialah rangkaian sebab dan musabab. Seluruh sebab berurutan dengan teratur: penyebab pertama menghasilkan musabab, musabab ini menjadi penyebab yang kedua yang menghasilkan musabab ketiga, dan begitu seterusnya sehingga terjadi rangkaian penyebab. Itu berarti bahwa membuang sebab sama dengan membuang musabab. Artinuya, bila tidak ada Sebab Pertama, tentu tidak akan ada rangkaian sebab itu tadi, dan ini akan berarti tidak akan ada apa-apa. Nyatanya apa-apa itu ada. Oleh karena itu, wajarlah untuk menyimpulkan adanya Sebab pertama, dan itu Tuhan.
3. Kemungkinan dan keharusan
Argumen ini ialah argumen kemungkinan dan keharusan (possibility and necessity). Kita menyaksikan di dalam alam ini segala sesuatu bersifat mungkin ada dan mungkin tidak ada. Adanya alam ini bersifat mungkin. Kesimpulan itu kita ambil karena kenyataannya isi alam ini dimulai tidak ada, lalu muncul, lantas berkembang, akhirnya rusak atau menghilang. Kenyataan itu, yaitu alam berkembang menuju hilang, membawa kita kepada konsekuaensi bahwa alam ini tidak mungkin selalu ada karena ada dan tidak ada tidak mungkin menjadi sifat sesuatu sekaligus dalam waktu yang sama. Bila sesuatu tidak mungkin ada, ia tidak akan ada. Nah, mestinya sekarang ini tidak ada sesuatu. Ini berlawanan dengan kenyataan. Kalau ndemikian, harus ada Sesuatu Yang ada sebab tidak mungkin muncul yang ada bila Ada Pertama itu tidak ada. Sebab, bila pada suatu waktu tidak ada sesuatu, maka tidak mungkin muncul sesuatu yang lain. Jadi, Ada Pertama itu harus ada karena adanya alam dan isinya ini. Akan tetapi, Ada Pertama itu, Ada yang harus ada itu, dari mana? Terjadi lagi rangkaian penyebab. Kita harus berhenti pada Penyebab yang harus ada; itulah Tuhan.
4. Memperhatikan tingkatan yang terdapat pada alam ini
Argumen ini memperhatikan tingkatan yang terdapatpada alam ini. Isi alam ini masing-masing berkelebihan dan berkekurangan, misalnya dalam hal kebaikan, keindahan, kebenaran. Ada orang yang dihormati, ada yang lebih dihormati, ada yang terhormat. Ada indah, lebih indah, terindah. Benar juga demikian. Tingkatan tertinggi menjadi sebab tingkatan di bawahnya. Api yang mempunyai panas adalah sebab untuk panas di bawahnya. Yang Mahasempurna, yang Mahabenar, adalah sebab bagi sempurna dan benar pada tingkatan di bawah-Nya. Tuhan, karena itu, adalah tingkatan tertinggi. Begitu juga tentang ada. Tuhan memiliki sifat Ada yang tertinggi; ada yang di bawahnya disebabkan oleh Ada yang tertinggi itu.
5. Keteraturan alam
Argumen ini berdasarkan keteraturan alam. Kita saksikan isi alam dari jenis yang tidak berakal bergerak atau bertindak menuju tujuan tertentu, dan pada umumnya berhasil mencapaia tujuan itu, sedangkan mereka itu mempunyai pengetahuan tentang tujuan itu. Dari situ kita mengetahui bahwa benda-benda itu diatur oleh sesuatu dalam bertindak mencapai tujuannya. Sesuatu yang tidak berakal mestinya tidak mungkin mampu mencapai tujuan. Nyatanya mereka mencapai tujuan. Itu tidak mungkin seandainya tidak ada yang mengarahkan mereka. Yang mengarahkan itu pasto berakal dan mengetahui. Kita lihta anak panah diarahkan oleh pemanah. Yang mengarahkan alam semesta dan isnya ini harus ada, harus berakal dan berpengetahuan. Itulah Tuhan.
Demikianlah pemikiran Thomas Aquinas berkenaan dengan bidang Theologi yang melahirkan Filsafat Ketuhanan. Pada titik ini terlihat bahwa Thomas Aquinas berusaha mendamaikan akal sebagai interpretasi pemikiran rasional khas Filsafat dan hati sebagai interpretasi dogma agama. Dengan kata lain, Thomas Aquinas mencoba merasionalkan Tuhan, mendamaikan akal dan hati. Argumen tersebut memang bukan argumen yang tanpa cela, juga bukan jawaban dengan kebenaran absolut mengenai prinsip ketuhanan, namun setidaknya melalui kelima argumen tersebut Thomas Aquinas telah memberikan warna baru dalam pemikiran masa Abad Pertengahan. Seperti yang kita ketahui bersama, filsafat tidak berkewajiban memberikan jawaban, filsafat hanya bertugas mempertanyakan dan berargumentasi.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Daftar Pustaka
Bierman, A. K., dan James, A. Gould. 1973. Phyloshopy for a New Generation. New York: The Macmillan Co.
Naupal. 1999. 'Konsep Allah Menurut Al-Ghazali dan Thomas Aquinas: Suatu Studi banding Filsafat Ketuhanan'. Skripsi. Jakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia.
Tafsir, Ahmad. 1990. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai James. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Setelah runtuhnya masa filsafat Yunani Kuno, munculah Abad Pertengahan dengan kekuatan hegemoni gereja yang hampir mutlak. Hal ini bisa dikatakan sebagai pembalasan atas kemutlakan pengaruh akal yang terjadi pada masa Yunani Kuno. Para filsuf Abad Pertengah sangat berpegang teguh pada dogma-dogma gereja, terpaku pada wahyu illahi. Akan tetapi, di akhir masa Abad Pertengahan muncul seorang filsuf bernama Thomas Aquinas yang banyak memiliki perbedaan pemikiran dengan filsuf-filsuf Abad Pertengahan lainnya.
Thomas Aquinas merupakan generasi lanjutan dari pemikiran Santa Augustinus. Meski demikian, Thomas Aquinas memiliki perbedaan jarak seribu tahun dengan Santa Augustinus. Meskipun berangkat dari sesorang yang sangat dekat dengan agama, seorang pembelajar theologi, Thomas Aquinas malah memiliki pemikiran yang cenderung materialistis dan lebih berfokus pada dunia nyata ketimbang dunia ide. Pemikiran Thomas Aquinas memiliki kemiripan dengan nilai-nilai yang dianut oleh Aristoteles.
Akan tetapi di sisi lain Thomas Aquinas mengembangkan sudut pandang baru dalam filsafat yakni filsafat ketuhanan yang sebelumnya belum pernah ada di zamannya. Ia mempercayai bahwa keberadaan Tuhan bisa dirasionalisasi dengan akal. Guna mendukung keyakinannya tersebut Thomas Aquinas mengajukan 5 argumen yang terangkum dalam 5 dalil Aquinas, yaitu:
1. Argumen gerak
Argumen ini diangkat dari sifat alam yang selalu bergerak. Di dalam alam ini segala sesuatu bergerak. Dari sini dibuktikan Tuhan ada. Bierman dan Gould (1973:639) menamakan argumen ini argumen gerak. Jelas sekali bahwa tidak mungkin suatu perubahan dari potensialitas bergerak ke aktualitas bergerak tanpa ada penyebabnya, dan penyebab itu tidak mungkin ada pada dirinya sendiri. Dengan kata lain, tidak mungkin sesuatu bergerak sendiri. Gerakan adalah perubahan dari potentia ke actus: potentia tanpa sebab lain tidak mungkin actus. Akan tetapi, timbul persoalan: bila sesuatu bergerak hanya karena penggerak yang menggerakkannya, tentu penggerak itu pun memerlukan pula penggerak di luar dirinya. Bila demikian, terjadilah penggerak berangkai yang tidak terbatas. Konsekuensinya ialah tidak ada penggerak. Menjawab persoalan ini Aquinas mengatakan bahwa justru karena itulah maka sepantasnya kita sampai pada Penggerak Pertama, yaitu Penggerak Yang tidak digerakkan oleh yang lain. Itulah Tuhan.
2. Sebab yang mencukupi
Argumen ini disebut sebab yang mencukupi (efficient cause). Di dalam dunia inderawi kita saksikan adanya sebab yang mencukupi. Tidak ada sesuatu yang mempunyai sebab pada dirinya sendiri sebab, bila demikian, ia mesti menjadi lebih dulu daripada dirinya. Ini tidak mungkin. Dalam kenyataannya yang ada ialah rangkaian sebab dan musabab. Seluruh sebab berurutan dengan teratur: penyebab pertama menghasilkan musabab, musabab ini menjadi penyebab yang kedua yang menghasilkan musabab ketiga, dan begitu seterusnya sehingga terjadi rangkaian penyebab. Itu berarti bahwa membuang sebab sama dengan membuang musabab. Artinuya, bila tidak ada Sebab Pertama, tentu tidak akan ada rangkaian sebab itu tadi, dan ini akan berarti tidak akan ada apa-apa. Nyatanya apa-apa itu ada. Oleh karena itu, wajarlah untuk menyimpulkan adanya Sebab pertama, dan itu Tuhan.
3. Kemungkinan dan keharusan
Argumen ini ialah argumen kemungkinan dan keharusan (possibility and necessity). Kita menyaksikan di dalam alam ini segala sesuatu bersifat mungkin ada dan mungkin tidak ada. Adanya alam ini bersifat mungkin. Kesimpulan itu kita ambil karena kenyataannya isi alam ini dimulai tidak ada, lalu muncul, lantas berkembang, akhirnya rusak atau menghilang. Kenyataan itu, yaitu alam berkembang menuju hilang, membawa kita kepada konsekuaensi bahwa alam ini tidak mungkin selalu ada karena ada dan tidak ada tidak mungkin menjadi sifat sesuatu sekaligus dalam waktu yang sama. Bila sesuatu tidak mungkin ada, ia tidak akan ada. Nah, mestinya sekarang ini tidak ada sesuatu. Ini berlawanan dengan kenyataan. Kalau ndemikian, harus ada Sesuatu Yang ada sebab tidak mungkin muncul yang ada bila Ada Pertama itu tidak ada. Sebab, bila pada suatu waktu tidak ada sesuatu, maka tidak mungkin muncul sesuatu yang lain. Jadi, Ada Pertama itu harus ada karena adanya alam dan isinya ini. Akan tetapi, Ada Pertama itu, Ada yang harus ada itu, dari mana? Terjadi lagi rangkaian penyebab. Kita harus berhenti pada Penyebab yang harus ada; itulah Tuhan.
4. Memperhatikan tingkatan yang terdapat pada alam ini
Argumen ini memperhatikan tingkatan yang terdapatpada alam ini. Isi alam ini masing-masing berkelebihan dan berkekurangan, misalnya dalam hal kebaikan, keindahan, kebenaran. Ada orang yang dihormati, ada yang lebih dihormati, ada yang terhormat. Ada indah, lebih indah, terindah. Benar juga demikian. Tingkatan tertinggi menjadi sebab tingkatan di bawahnya. Api yang mempunyai panas adalah sebab untuk panas di bawahnya. Yang Mahasempurna, yang Mahabenar, adalah sebab bagi sempurna dan benar pada tingkatan di bawah-Nya. Tuhan, karena itu, adalah tingkatan tertinggi. Begitu juga tentang ada. Tuhan memiliki sifat Ada yang tertinggi; ada yang di bawahnya disebabkan oleh Ada yang tertinggi itu.
5. Keteraturan alam
Argumen ini berdasarkan keteraturan alam. Kita saksikan isi alam dari jenis yang tidak berakal bergerak atau bertindak menuju tujuan tertentu, dan pada umumnya berhasil mencapaia tujuan itu, sedangkan mereka itu mempunyai pengetahuan tentang tujuan itu. Dari situ kita mengetahui bahwa benda-benda itu diatur oleh sesuatu dalam bertindak mencapai tujuannya. Sesuatu yang tidak berakal mestinya tidak mungkin mampu mencapai tujuan. Nyatanya mereka mencapai tujuan. Itu tidak mungkin seandainya tidak ada yang mengarahkan mereka. Yang mengarahkan itu pasto berakal dan mengetahui. Kita lihta anak panah diarahkan oleh pemanah. Yang mengarahkan alam semesta dan isnya ini harus ada, harus berakal dan berpengetahuan. Itulah Tuhan.
Demikianlah pemikiran Thomas Aquinas berkenaan dengan bidang Theologi yang melahirkan Filsafat Ketuhanan. Pada titik ini terlihat bahwa Thomas Aquinas berusaha mendamaikan akal sebagai interpretasi pemikiran rasional khas Filsafat dan hati sebagai interpretasi dogma agama. Dengan kata lain, Thomas Aquinas mencoba merasionalkan Tuhan, mendamaikan akal dan hati. Argumen tersebut memang bukan argumen yang tanpa cela, juga bukan jawaban dengan kebenaran absolut mengenai prinsip ketuhanan, namun setidaknya melalui kelima argumen tersebut Thomas Aquinas telah memberikan warna baru dalam pemikiran masa Abad Pertengahan. Seperti yang kita ketahui bersama, filsafat tidak berkewajiban memberikan jawaban, filsafat hanya bertugas mempertanyakan dan berargumentasi.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Daftar Pustaka
Bierman, A. K., dan James, A. Gould. 1973. Phyloshopy for a New Generation. New York: The Macmillan Co.
Naupal. 1999. 'Konsep Allah Menurut Al-Ghazali dan Thomas Aquinas: Suatu Studi banding Filsafat Ketuhanan'. Skripsi. Jakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia.
Tafsir, Ahmad. 1990. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai James. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Komentar
Posting Komentar