Praktik Politisasi PSSI Terhadap Pemikiran Socrates


Oleh Seto Anang Ma'aruf Arkeologi, 1506680195 
Menarik membahas mengenai sepak bola Indonesia dengan segala praktik politisasinya. Bisa dikatakan praktik ini sungguh membuat sepak bola kita seakan-akan mati suri terhadap prestasi. Sudah dua puluh enam tahun lamanya kita tertidur layaknya cerita putri salju di dalam negeri dongeng. Tak pernah meraih supremasi tertinggi di Asia Tenggara, di hukum FIFA cerita ini sangat miris sehingga saya sangat tertarik ketika saya membahas dalam mata kuliah PFPM dengan kaitan Sejarah Filsafat Yunani Klasik dengan tokoh bernama Socrates yang notabene juga tidak asing dengan nama pemain bola asal Brazil. 
Dalam hal ini mengapa saya memperlajari salah satu keteladanan Socrates karena pemikiran dan visi sosialnya yang sangat altruistis. Harus diakui, dalam hal ini Socrates modern banyak kemiripan dengan Socrates klasik. Jika Socrates klasik kita kenal sebagai figur yang berbudi luhur, cerdas, bijak, dan layaknya guru bagi banyak penduduk Athena pada saat itu, Socrates modern juga demikian. Oleh para teman seangkatanya dia dikenang sebagai guru bagi banyak orang dalam berbagai hal baik didalam lapangan maupun diluar lapangan.  
Sejarah mencatat Socrates klasik adalah seorang pionir bagi berkembangnya tradisi berpikir filosofis di era Yunani kuno. Dia sangat berani berseberangan dengan doktrin negara demi tegaknya supremasi filsafat. Setali tiga uang, Socrates modern juga sering memosisikan dirinya sebagai pionir. Socrates modern hidup di era Brazil ketika diperintah rezim militer dengan melakukan “perlawanan” yang diawali dengan menumbuhkan demokratisasi di klubnya, Corinthians. Dia bahkan ikut mendirikan gerakan demokrasi Corinthians yang menentang pemerintah militer yang berkuasa. Dia dan kawan-kawannya memprotes perlakuan rezim militer terhadap para pesepak bola, dan secara terbuka menunjukkan dukungannya kepada gerakan untuk demokrasi di Brazil.  
Socrates modern yang juga kita kenal sebagai dokter lulusan Faculdade de Medicina de Riberiao Preto, Brazil, ini pernah tanpa takut mengenakan kaus bertulisan Democracia pada beberapa pertandingan. Ini merupakan salah satu bentuk perlawanan yang dilontarkan Socrates modern pada saat itu tidak terlepas dari tokoh-tokoh idolanya semasa kecil, yaitu Fidel Castro, Che Guevara, dan John Lennon. Terkadang dia juga memakai kaus bertulisan, “Saya ingin memilih”. Bahkan, CNN menyebutkan, Socrates dan mantan Presiden Brazil Luis Inacio Lula da Silva berteman baik dan sahabat karib dalam gerakan pro demokrasi 1980-an yang dikenal dengan aksi Diretas Ja.   
Satu lagi yang menarik, jika Socrates klasik harus mengakhiri hidup setelah menenggak racun, Socrates modern juga mati akibat racun. Hanya, penyebabnya berlawanan. Socrates klasik dipaksa meminum racun oleh otoritas Yunani sebagai konsekuensi keteguhannya mempertahankan pemikiran filsafatnya yang banyak berseberangan dengan negara. Sedangkan Socrates modern tewas keracunan karena banyak organ vitalnya telah gagal berfungsi sebagai dampak hobinya minum minuman keras dalam kadar berlebih. Inilah habit buruk Socrates modern yang amat disayangkan para pengemarnya.  
Dalam sepak bola Brazil yang berorientasi pada permainan indah, seorang pemain diberi kebebasan untuk tidak terpaku pada pola baku yang dikembangkan timnya. Sering para pemain diberi peluang untuk menampilkan skill-nya yang menawan. Karena itulah, banyak orang menyebut para pemain Brazil bukan sekadar bermain bola, melainkan sedang menari Samba (serbaindah dan harmonis). Oleh sebab itu sepak bola tidak hanya tentang persoalan siapa yang menang dan siapa yang kalah, tapi sepakbola juga sebagai arena menghibur penonton.  
Rupanya doktrin sepak bola Samba ini juga meresap dalam visi sosial-politik Socrates modern sehingga dia memilih menjadi aktivis politik prodemokrasi untuk membuka ruang kebebasan politis rakyat dari cengkeraman tirani rezim militer yang totaliter setelah dia pensiun. Dalam konteks kompatibilitas, hal ini sesuai dengan kredo politik pemikir perempuan Jerman Hannah Arendt (1906-1975). Bagi Arendt (dalam Hardiman, 2005:23) setiap upaya memobilisasi penduduk sebagai massa, yakni memperlakukan manusia lain tidak sebagai sesama, melainkan sebagai eksemplar sebuah kelompok yang berlawanan dengan kelompok lain, adalah apolitis. Penguasaan yang satu terhadap yang banyak bukanlah politik, melainkan antipolitik. Pemikiran Arendt telah mencengangkan siapa saja yang memahami politik sebagai relasi antara yang berkuasa dan yang dikuasai. Sebab, politik tak dapat dipahami dalam kategori Herrschaft (dominasi), melainkan dalam kategori Freiheit (kebebasan) dimana politik adalah terengkuhnya kebebasan.  
Nah, dalam konteks ini, bara konflik (politik) yang tak kunjung padam di tubuh PSSI tidak jauh berbeda dengan kegelisahan Arendt soal politik dan yang antipolitik. Sungguh, dipandang dari sisi mana pun, konflik (politik) di internal PSSI tidak layak disebut sebagai perjuangan politik yang secara esensial (diklaim) para pihak yang berseteru sebagai jalan menuju “perubahan” sepak bola kita. Kita sudah lelah melihat tingkah elite politik yang ingin mencampuri olahraga semata demi popularitas dengan tidak membangun sebuah sistem yang benar untuk kemajuan sepak bola Indoneseia. 
Dalam sejarah sering sepak bola menjadi lampauan politik dan pereda suasana. Ambil contoh bagaimana sportifnya laga Amerika Serikat vs Iran di Piala Dunia 1998 di tengah sorotan publik karena rivalitas kedua negara dalam kancah politik internasional. Atau bagaimana Didier Drogba dan kawan-kawan bisa menyatukan faksi-faksi politik di Pantai Gading lewat sepak bola. Belum lagi contoh kesuksesan Iran menjuarai piala Asia 2007 menjadi obat tersendiri ketika negara mereka sedang hancur lebur akibat perang.  
Namun, di Indonesia justru politik yang mengatasi sepak bola. Ini terjadi seperti apa yang dikemukakan Arendt, politiklah yang dimainkan para “politisi” di PSSI adalah politik penaklukan sehingga dengan sendirinya bercorak antipolitik. Alih-alih berharap ada reformasi sejati di PSSI, sportivitas persaingan pun mereka campakkan jauh-jauh. Karena itu, jika Socrates modern masih hidup dan berada di Indonesia, niscaya dia akan mengutuk para pihak yang berkonflik di PSSI sebagai “penghina peradaban sepak bola”. Sebab, sepak bola memang tidak untuk dipolitisasi. Sepak bola harus melampaui politisasi itu sendiri karena sepak bola adalah upacara kemanusiaan yang terbebaskan. Demi terwujudnya prestasi, karena kita sudah lama haus akan kemenangan dan rindu akan gelar juara. Semoga itu terwujud. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsuf Yunani Kuno : Thales, Anaximander, Anaximenes

Pemikiran Thales

Filsafat Modern : Pemikiran Idealisme